Di kelas kewirausahaan yang saya ampu, saya pernah menanyakan ini ke mahasiswa:
Apakah entrepreneur itu dipelajari, atau murni keahlian bawaan sejak lahir?
Pertanyaan ini muncul kembali saat saya mengikuti materi di Diplomat Sukses Season 16.
Dan terus terang, saya mendapat perspektif baru.
Selama ini kita sering melihat entrepreneur sukses seolah “natural born talent”.
Seakan-akan mereka punya kepekaan, nyali, intuisi, dan sense bisnis yang tidak bisa direplikasi.
Namun ternyata, kompetensi wirausaha bukan hal yang abstrak.
Ia bisa diidentifikasi, dinilai, dan dibedah kekuatan serta kekurangannya.
Ada indikator perilaku yang memengaruhi kualitas entrepreneur dalam:
-
Mengambil keputusan
-
Membaca peluang pasar
-
Mengelola risiko
-
Membangun dan menjaga kolaborasi
Dengan adanya pendekatan berbasis kompetensi ini, kita dapat melihat seberapa siap seorang entrepreneur untuk menjaga bisnis tetap hidup bahkan untuk scale up.
Di sinilah saya semakin sadar bahwa kemampuan entrepreneurship bisa ditingkatkan secara sistematis. Ia bukan semata-mata bakat; ia adalah kapasitas yang dapat dibangun, dilatih, dan dikembangkan.
Terlebih pada tahap pertumbuhan bisnis, tantangan terbesar justru sering berada pada kapabilitas leadership dari foundernya sendiri. Produk bisa berkembang. Pasar bisa melebar. Aset bisa bertambah.
Namun jika pemimpinnya tidak berkembang, bisnis akan berhenti di level itu.
Belajar ini membuat saya semakin yakin: menjadi entrepreneur adalah perjalanan peningkatan kualitas diri secara berkelanjutan. Dan langkah pertama untuk naik level adalah mengukur diri.
Melihat secara jujur kekuatan apa yang sudah kita miliki, dan area apa yang perlu diperbaiki.
Pertanyaannya untuk Anda:
menurut Anda sendiri, entrepreneur itu lebih banyak dilahirkan atau dibentuk?
Komentar
Posting Komentar