Part 1 Study Case: Mengendarai Ombak di Tsunami Perubahan Pandemi Covid-19: Mampukah Perhotelan di Pulau Dewata tetap Berselancar? Tur Nastiti & Ni Luh Putu Dian Puspa Dewi - Bela Putra Perdana
Awal Februari 2020, pagi hari pada awal musim semi di Taiwan. “You can’t stop the waves, but you can learn to surf,” tulisan yang terpajang di seberang tempat duduk ini menahan sebentar pandangan mata Formosa. Formosa tersenyum menginternalisasikan makna tulisan tersebut. Sebagai seorang pemimpin di hotel bintang 4 di Pulau Dewata Bali, dia memahami dalam-dalam makna tulisan tersebut sambil membayangkan berselancar mengendarai ombak di bentangan laut sisi hotelnya di Seminyak Bali. Berselancar adalah hobinya. Kulit legam terpapar matahari tropis yang terserap air laut bukanlah sebuah penghalang baginya. Gulungan ombak yang tinggi adalah yang dia cari. Bukan untuk dicegah agar tidak menghantam karang, tapi untuk dikendarai dengan waspada dan bahagia. Digantinya posisi duduk dengan melipat kaki sambil matanya menunduk mengamati legam kulit kakinya, “Ya, inilah cantik khas anak pulau dewata, cantik natural,” kembali senyum tersungging di bibirnya. “Taipe 101 station,” pengumuman di gerbong Mass Rapid Train (MRT) Taipe itu menghentikan lamunannya. Dia amati sekitar, tampak para penumpang yang kebanyakan berpenampilan turis seperti dirinya, bersiap untuk turun di stasiun selanjutnya ini. Kedip lampu kecil hijau di sisi atas pintu sebelah kiri, menjadi informasi bagi semuanya. Pintu sebelah kiri gerbong yang akan digunakan untuk naik dan turun penumpang pada pemberhentian selanjutnya. MRT melambat dan berhenti di stasiun itu, Stasiun Taipe 101. Formosa bergegas berdiri menuju pintu keluar dan melangkah kecil keluar dari gerbong MRT. Setelah menemukan tempat yang sedikit lega dalam stasiun yang dipenuhi dengan pelancong itu, dia 2 melihat sekitar. Mencari papan penunjuk arah yang bertuliskan “Exit 4.” “Ya, di sana, aku akan menuju ke sana,” gumamnya sambil mengayunkan langkah ke arah sisi kanan stasiun. Sambil melangkah di antara sesaknya penumpang, Formosa tetap menikmati suasana di sepanjang lorong menuju pintu keluar 4. Dindingnya banyak dihiasi oleh poster Taipe 101 dengan Damper Babies-nya. Selain itu, tulisan Welcome to Formosa juga turut jamak terpampang di sana. Formosa kembali tersenyum. Dia ingat nasehat ayahnya yang membuatnya mantab menikmati liburan di Taiwan saat ini. “Formosa, saatnya kamu escape sebentar ke Taiwan dan menemukan makna kata namamu,” itu yang dikatakan ayahanda. “Jangan khawatirkan hotel, Ayah akan pegang kepemimpinannya kembali sebentar selama dua minggu masa liburmu. Percayakan pada Ayah, meskipun Ayah sudah tua, tapi Ayah masih mampu memimpin hotel sebentar. Lagian, masak kamu tidak percaya untuk menyerahkan sebentar kepemimpinan hotel pada pemilik hotelnya?” tawa kemudian mengiringinya. “Pergilah sendirian tanpa anak dan suami pada masa musim semi di awal Februari. Jadilah seperti pelancong pada umumnya yang menikmati Taiwan dengan kesederhanaan. Maka, kenikmatan dalam kesederhanaan ini yang akan mengantarkan indahnya mekar bunga sakura Taiwan yang menyambutmu. Berkunjunglah ke Taipe 101 dan temukan makna formosa dan resiliensi di sana,” sedemikian tutup sang ayah dalam pertemuan sore hari itu di ruang keluarga. Dan, disinilah Formosa sekarang berada, menjejakkan kaki menuju pintu keluar 4 Stasiun MRT Taipe 101. Mentari menyapanya dengan hangat, meskipun suasana sejuk musim semi masih terasa, ketika Formosa sampai di tangga naik terakhir dari pintu keluar 4. “Selamat pagi lagi Taipe,” gumamnya sambil mendongak menatap langit. Di depannya berdiri kokoh gedung pencakar langit Taipe 101. Ketika dongakan kepala sudah hampir menyentuh tengkuk, tetap saja Formosa tidak mampu melihat ujung atas Taipe 101. Kakinya terus melangkah memasuki Mall Taipe 101, melewati deretan food courts dan toko cindera mata di lantai 1, langkahnya 3 berlanjut menyusuri main hall bangunan berteknologi tinggi tersebut. Deretan toko menjual barang-barang bermerk internasional khas sosialita dunia menyejukkan mata Formosa. “Kuatkan imanmu Formosa, langsunglah ke lantai 6 menuju observatorium,” ingat Formosa atas pesan ayahnya. Bergegas dia melangkah ke lantai 6 menggunakan akses eskalator sambil menikmati suasana pagi mall. Setibanya di lantai dasar observatorium, dia tunjukkan tiket yang telah dia beli daring untuk mengantarnya menuju puncak Taipe 101. Tidak banyak antrian membuatnya dapat segera memasuki lift yang mengantarnya ke lantai 89 hanya dalam 37 detik, mulus dan tanpa goncangan sama sekali. “Ting…,” suara itu terdengar menandakan lift telah tiba di lantai 89. Petugas mempersilakan penumpang lift untuk meninggalkan lift dan menjejakkan langkah di lantai yang berjarak 400 meter di atas tanah ini. Hamparan keindahan Taiwan dari ketinggian terbentang di sepanjang cakrawala. Menyejukkan mata setiap manusia yang melihatnya. Inilah arti formosa, sebuah keindahan. Nama yang disematkan oleh pelaut Portugis ketika menemukan dataran Taiwan karena terkagum atas keindahannya. Setelah menikmati pemandangan cakrawala Taiwan, Formosa melangkah mengikuti petunjuk arah menuju ke wind dumper. Tepat di tengah bangunan pencakar langit ini tergantung mega wind dumper. Pendulum baja dengan berat setara 300 gajah yang tergantung di pusat bangunan Taipe 101. “Belajarlah tentang resilensi dari wind dumper itu,” ingat Formosa atas pesan ayahnya. Taipe adalah wilayah di sisi utara daratan Taiwan. Karena letak geografisnya, wilayah ini sering dilanda gempa dan angin typhoon. Mendirikan bangunan pencakar langit, seperti Taipe 101 dengan 101 lantainya, di area ini merupakan sebuah tantangan teknologi sarat kreatifitas. Wind damper adalah solusi yang diberikan untuk mengimbangi goyangan bangunan ketika gempa dan angin menerpa. Ibarat seperti bandul pemberat, wind dumper akan membantu fungsi kerja resiliensi bangunan saat terjadi goncangan. Wind dumper menjadi penyeimbang gerakan bangunan sehingga menjadikan gedung ini dapat ‘menari beresiliensi’ ketika terjadi 4 gerakan di tanah dan lingkungan sekitarnya. Formosa membaca informasi di layar sentuh itu sambil sesekali menatap wind damper yang tergantung kokoh di depannya. “Ya, inilah resiliensi.” Wind damper menjadikan gedung ini tidak sekedar kaku tegak berdiri dengan risiko rentan roboh, namun mampu lentur mengimbangi pergerakkan sekitarnya. “Benar-benar mega infrastruktur yang tak tertandingi,” decak kagum Formosa. Puas menikmati maha karya infrastruktur dan kreativitas ini, Formosa mendekati toko cindera mata untuk membeli dua boneka damper babies untuk anak-anaknya. Hingga telepon genggamnya berdering, panggilan dari sang ayah, Pak Dharmawan. “Nak, nikmati Pulau Formosamu dan belajarlah resiliensi dari wind damper. Tapi, cepatlah pulang setelahnya, virus corona diindikasi telah masuk di Indonesia,” sedemikian pesan yang Formosa terima dari suara bergetar sang ayah di Pulau Dewata. Wajah cemas sang ayah, jajaran manajerial (Hadi, Hong, Yuyun, Abe, Made, Wike, dan Agung), dan karyawan langsung memenuhi benak Formosa. Ini adalah awal dari tantangan resiliensi di ombak tsunami perubahan Covid-19 yang menerpa Formosa. Mampukah pemimpin hotel bintang empat di prime location Seminyak Bali ini tetap berselancar mengarunginya?
Komentar
Posting Komentar