Langsung ke konten utama

Tempe: Indonesia’s Superfood That’s Gaining Global Respect

Tempe might be a humble food in many Indonesian households, but to the world, it's becoming something much bigger—a plant-based superfood that carries both tradition and innovation.

Made from fermented soybeans, tempe has been a staple of Indonesian cuisine for centuries. It’s rich in protein, probiotics, fiber, and essential nutrients. But what makes it even more powerful is its potential to become a sustainable, affordable solution for improving nutrition across communities—not just in Indonesia, but around the world.

Sharing Tempe on the International Stage

I’ve had the honor of introducing tempe to a wider audience through forums in Southeast Asia—specifically in Singapore and Vietnam. At these events, I spoke not just about what tempe is, but what it represents: a proudly Indonesian innovation in the world of food and nutrition.

In Singapore, participants were impressed by how something so simple could be so nutritious and sustainable. Many were fascinated by its fermentation process and its potential in modern plant-based diets. I even brought samples, and after just one bite, I heard comments like “Where can I get this in Singapore?” and “This tastes like something we need to have in our market!”

In Vietnam, the discussion became even more meaningful. With rising concerns about malnutrition and the growing trend of plant-based eating, tempe was seen as a bridge between health and tradition. I shared how tempe is being used in Indonesia as part of programs to combat stunting—a major public health issue affecting children’s growth and development. Tempe, with its complete amino acid profile and affordable production cost, is a natural fit in the fight for better childhood nutrition.

More Than Just Food: A Source of National Pride

What makes me proud every time I talk about tempe abroad is knowing that this food isn’t just healthy—it’s ours. It comes from the soil, the hands, and the wisdom of generations of Indonesians. Tempe isn't an imported health trend. It's a cultural legacy.

And now, it’s being recognized globally.

From Michelin-star chefs adding tempe to their menus, to researchers highlighting its nutritional value, to food tech innovators exploring new ways to scale production—tempe is making its mark. It’s time more Indonesians saw it not just as a daily dish, but as a national icon.

Looking Ahead

I believe tempe has the power to go even further. It can be part of school nutrition programs, health campaigns, sustainable food systems, and yes—even international food trends. As more people look for ethical, eco-friendly, high-protein foods, tempe checks all the boxes.

But more importantly, it's a reminder that sometimes, the answers to global challenges are already right at home.

Tempe is Indonesia’s gift to the world—and I’m proud to be part of the journey in sharing it.


Bela Putra Perdana

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kewirausahaan : Teori Life Path Change

Menurut Shapero dan Sokol (1982) dalam Sundjaja (1990), tidak semua wirausaha lahir dan berkembang mengikuti jalur yang sistematis dan terencana. Banyak orang yang menjadi wirausaha justru tidak memali proses yang direncanakan. Antara lain disebabkan oleh: a.       Negative displacement       Seseorang bisa saja menjadi wirausaha gara-gara dipecat dari tempatnya bekerja, tertekan, terhina atau mengalami kebosanan selam bekerja, dipaksa/terpaksa pindah dari daerah asal. Atau bisa juga karena sudah memasuki usia pensiun atau cerai perkawinan dan sejenisnya.        Banyaknya hambatan yang dialami keturunan Cina untuk memasuki bidang pekerjaan tertentu (misalnya menjadi pegawai negeri) menyisakan pilihan terbatas bagi mereka. Di sisi lain, menjaga kelangsungan hidup diri dan keluarganya, menjadi wirausaha pada kondisi seperti ini adalah pilihan terbaik karena sifatnya yang bebas dan tidak bergantung p...

Kalau saja aku mampu-Fiersa Besari

Puisi karya Fiersa Besari Marry me? via unplash Kalau saja aku mampu, sudah kukejar langkahmu agar kita dapat berjalan berdampingan. Kalau saja aku mampu, sudah kuhiasi hari-harimu dengan penuh senyuman. Kalau saja aku mampu, sudah kutemani dirimu saat dirundung kesedihan. Kalau saja aku mampu, sudah kupastikan bahwa aku pantas untuk kau sandingkan. Kalau saja aku mampu, sudah kubalikkan waktu agar saat itu tak jadi mengenalmu. Kalau saja aku mampu, sudah kuarungi hariku tanpa harus memikirkanmu. Kalau saja aku mampu, sudah kutarik jiwaku yang ingin berada di sebelahmu. Kalau saja aku mampu, sudah kuminta hatiku agar berhenti merasakanmu. Tapi, aku mampu untuk memandangimu dari kejauhan tanpa pernah berhenti mendoakan. Aku juga mampu menjadi rumah untukmu, menunggumu yang tak tahu arah pulang. Sungguh aku mampu merindukanmu tanpa tahu waktu, tanpa sedikitpun alasan. Untukmu, aku mampu. Karena kau pantas dengan semua pengorbanan. " Rasa yang tidak t...

Kewirausahaan : Tujuan Pembentukan Wirausaha

      Teori-teori diatas sudah menjelaskan mengenai bagaimana proses seseorang dapat menjadi wirausaha. Walau teori tersebut masing-masing berdiri sendiri, sebenarnya ke empat teori tersebut saling mengisi. Dengan memadukan ke empat teori tersebut dapat menjadi model tahapan pembentukan yang sifatnya lebih komprehensif. Tahapan tersebut adalah: Deficit equilibrium Seseorang merasa adanya kekurangan dalam dirinya dan berusaha untk mengatasinya. Kekurangan tersebut tidak harus berupa materi saja, namun dapat juga berupa ketidakpuasan terhadap dirinya sendiri (motivasi, standar internal, dan lain-lain). Deficit equilibrium dapat pula terjadi karena berubahnya jalur hidup, seperti jika seseorang mendapat tekanan atau hinaan, misalnya baru keluar dari penjara, serta mendapat dukungan dari orang lain (Shapero & Sokol, 1982). Pengambilan keputusan menjadi wirausaha Perasaan kekurangan mendorong dia untuk mencari pemecahannya , untuk itu dia me...